09:20
0
Apa yang pertama kali terlintas di benak kita saat pertama kali mendengar kata Poso? Bagi banyak orang di negeri ini, Poso masih identik dengan konflik. Belum lagi di tambah kasus teroris yang belakangan terjadi, membuat Poso dicap sebagai daerah merah. Padahal kini Poso tidak semenakutkan itu. Kehidupan masyarakatnya baik begitu juga lingkungannya.
 

Adalah Lian Gogali, yang lebih dari 18 tahun berjuang untuk kedaulatan rakyat Poso pasca-konflik melalui Institut Mosintuwu. Didirikan pada tahun 2009, Institut Mosintuwu merupakan sebuah organisasi akar rumput untuk membantu memberdayakan perempuan Poso dan bertekad untuk turut membantu mewujudkan perdamaian pasca-konflik di Poso. Melalui Institut Mosintuwu, Lian Gogali memberikan pemahaman kepada perempuan Poso tentang nilai-nilai toleransi antar suku dan agama.
 

Sebagai langkah awal, Lian Gogali membentuk sebuah radio komunitas. Wanita kelahiran asli Poso ini menyadari betul bahwa media sangat ampuh dalam membentuk persepsi di masyarakat. Melalui radio, Lian Gogali bertekad untuk membangun dan memelihara kondisi kondusif di Poso.
 

Korban dari konflik Poso yang telah ada sejak tahun 1998 tersebut tidak lain adalah perempuan dan anak. Konflik politik yang menyeret agama untuk memobilisasi massa ini membuat posisi perempuan sangat tidak nyaman karena aksi kekerasan yang sering kali mereka alami. Hal ini juga yang dirasakan oleh Lian Gogali ketika ia menyaksikan dan mengalami langsung getirnya konflik yang terjadi.
 

Menyadari hal tersebut, Institut Mosintuwu kemudian membuka Sekolah Perempuan. Institut Mosintuwu meyakini bahwa perempuan memiliki potensi terbesar untuk menciptakan perdamaian dan keadilan. Akan tetapi, suara perempuan justru tidak pernah didengar. Sekolah perempuan yang dirancang oleh Institut Mosintuwu memberikan ruang bicara bagi perempuan dan memberdayakannya agar para perempuan tersebut bisa aktif dalam membangun dan memelihara perdamaian pasca-konflik di Poso. Kurikulum yang diajarkan diantaranya adalah toleransi, perdamaian, gender, perempuan, dan budaya. Dengan pengetahuan, perempuan tidak lagi di anggap lemah.
 

Sampai bulan Maret 2017, terhitung 500 perempuan menjadi lulusan Sekolah Perempuan Mosintuwu. Mereka merupakan perempuan pembaharu desa yang berkomitmen memastikan perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan di Poso. Para alumni Sekolah Perempuan Mosintuwu kini banyak berkiprah di desanya masing-masing. Mereka lantang bersuara dan sampaikan tanya pada apa yang dirasa tidak semestinya.
 

Berawal dari pemberdayaan perempuan melalui Sekolah Perempuan Mosintuwu, Lian Gogali kemudian berupaya untuk menjangkau lebih banyak kaum perempuan melalui kegiatan pemberdayaan desa. Motivasi terbesarnya adalah keinginan untuk mengembalikan desa sebagai sumber kehidupan. Sebanyak 40 dari 140 desa telah aktif dibina oleh Lian Gogali melalui Institut Mosintuwu. Pemberdayaan desa dilakukan dengan mengembangkan potensi alam melalui usaha desa. Usaha desa yang dirintis membantu penguatan ekonomi dari penjualan produk yang dibuat oleh kaum perempuan. Setiap desa diminta untuk membuat produk layak jual sesuai dengan kekayaan hasil bumi masing-masing. Kerjasama yang diperlukan dalam proses pembuatan produk-produk tersebut membuat ibu-ibu di desa berbaur. Dari pertemuan sederhana tersebut, dipupuk rasa untuk saling mengenal, menghargai, dan berinteraksi satu sama lain tanpa memandang suku dan agama. Kini tidak ada lagi rasa takut untuk saling bertegur sapa.
 

Hasil produk dari masing-masing desa tersebut kini sudah bisa dinikmati oleh masyarakat banyak. Pada bulan April 2017, ibu-ibu Sekolah Perempuan Mosintuwu berinisiatif membangun pasar desa di Desa Salukaia. Ide pasar desa dikembangkan oleh ibu-ibu Sekolah Perempuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat sekitar. Prinsip mereka adalah revolusi berawal dari dapur, dari apa yang dikonsumsi, dan dari para petani yang menanam dan mengelolanya. Di pasar desa ini, ibu-ibu Muslim, Kristiani, dan Hindu saling berinteraksi dan dengan antusias membawa sayur, buah, dan kue dari rumah mereka untuk dijual.
 

Usaha keras Lian Gogali bersama Institut Mosintuwu ini telah banyak diapresiasi oleh banyak pihak. Sebuah film dokumenter berjudul “The Peace Agency” yang merekam perjalanan Sekolah Perempuan Mosintuwu menggondol penghargaan pada Film Festival Big Muddy “John Michael’s Award Winner” pada bulan Maret 2017. Penghargaan ini merupakan sebuah kehormatan dan apresiasi bagi gerakan perempuan di Poso untuk menjadi gerakan perdamaian dan keadilan di Indonesia dan dunia.
 

Sebelumnya di tahun 2012, Lian Gogali mendapatkan penghargaan Coexist Prize dari Yayasan Coexist asal Amerika Serikat untuk pengembangan dialog serta perdamaian antar-agama dan keyakinan. Pada tahun 2015, ia menerima penghargaan Indonesian Woman of Change 2015 dari Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia. Penghargaan ini diterima bersama dengan empat perempuan lainnya atas usaha mereka untuk meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia.
 

Semua usaha untuk menciptakan perdamaian yang telah dilakukan ini bukanlah hal yang mudah. Dalam perjalanannya memang ditemui banyak tantangan dan rintangan, namun Lian Gogali menghadapinya dengan terus berjuang sesuai koridor yang menurutnya benar. Semangatnya juga ditularkan kepada generasi muda dengan menanamkan motivasi kepada mereka bahwa bekerja dan melakukan sesuatu untuk orang lain adalah sesuatu yang membahagiakan.
 

Usaha keras selama ini merupakan sebuah perjalanan panjang untuk membuktikan perempuan bisa mengambil peran demi terwujudnya kehidupan bermasyarakat dan beragama yang damai. Perempuan tidak hanya sebatas korban konflik, melainkan sebagai penggerak perdamaian. Dari perempuanlah, perdamaian di Poso dirintis. Lian Gogali membuat peran perempuan Poso tidak bisa dikesampingkan. Kini saatnya untuk bergandengan tangan lebih erat untuk mantapkan langkah membangun Poso yang tanpa senjata, tanpa air mata, dan tanpa perlu ada konflik berikutnya.
Next
This is the most recent post.
Older Post

0 comments:

Post a Comment