10:57
0
Badan ini tertunduk kaku dan mata hanya terpaku menatap satu titik saja. Ah, ternyata aku diserang [lagi] oleh virus adDEEction. Yup, lewat Rectoverso, Dee memberikan suatu mahakarya unik yang sama sekali jauh berbeda dibanding karya-karya sebelumnya. Rectoverso merupakan kombinasi yang indah yang terdiri dari sebelas cerita pendek dan sebelas lagu. Semuanya bisa dinikmati terpisah maupun bersama-sama. Rectoverso adalah karya Dee yang sederhana, namun matang, menampilkan sesuatu yang luar biasa dari permukaan biasa.
Salah satu cerita pendek dalam Rectoverso adalah Curhat Buat Sahabat. Bahwa kita boleh fokus ke satu titik tujuan, tapi kita jangan sampai mengabaikan hal-hal disekeliling kita. Karena kadang jika sudah terlalu fokus, tanpa disadari kita membuat sekat terhadap hidup kita yang orang lain tidak bisa menembusnya. Padahal ada diantara mereka yang sangat peduli dengan kita. Dan mereka adalah sahabat.
Dibawah ini adalah cerita lengkap tentang Curhat Buat Sahabat. Baca, Pahami, dan Resapi. Selamat membaca. :)

CURHAT BUAT SAHABAT

Gaun hitammu menyambar kaki meja, lalu menyapu ujung kakiku. Kamu sengaja berdandan. Membuatku agak malu karena muncul berbalut jaket jin, celana khaki, dan badan sedikit demam.
“Kamu tidak tahu betapa pentingnya malam ini,” katamu, tertawa tersipu, seakan minta dimaklumi. Pastinya kamu yang merasa tampil berlebihan, karena katamu tadi di telepon, kita hanya akan makan malam sambil mendengarkanmu curhat.
Sebotol Muscat yang terbalur dalam kepingan es diantarkan ke meja. Dudukku langsung tegak. Jangan-jangan mala mini memang betulan penting.
Anggur itu berusia enam tahun. Gaun itu Cuma keluar sekali dalam setahun. Restoran ini terakhir kamu pilih saat ulang tahun hari jadi jatuh cintamu ke-1, empat tahun yang lalu. “Ada yang perlu dirayakan? Selain kamu baru sembuh sakit dan aku yang gentian tidak enak badan?” tanyaku, berusaha santai.
“Mala mini aku lahir baru.”
“Kamu … bertobat?”
“Bisa jadi itu istilahnya!” tawamu mengelak-gelak lepas, lalu kamu mengatur nafas, “Aku … selesai.”
Mataku menyipit. Menunggu penjelasan.
“Selesai! Semua sudah selesai. Lima tahun sudah cukup. Aku berhenti menunggu. Berhenti berharap. Cheers!” Kamu dentingkan gelasmu ke gelasku.
Bulu kudukku meremang tersapu hawa demam yang tiba-tiba melonjak sesaat dari dalam tubuh. Atau pendingin ruangan yang terlalu sejuk. Piano mengalun terlalu indah di kuping. Kamu terlalu cantik saat menyerukan ikrar kebebasanmu. Aku merinding lagi dan selapis keringat dingin menyembul di tepi kening.
“Kenapa?” tanyaku, dan kamu pasti sudah siap untuk itu. Untuk sepotong kata tanya itulah kamu berdandan, mengenakan baju terbaikmu, dan memilih tempat ini.
Tolong jangan tersinggung jika kubilang jika aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pertama, akan ada jeda kosong sekurang-kurangnya tiga menit, dimana aku akan melipat tangan di dada sambil memandangimu sabar, dan kamu akan memandang kosong ke satu titik, seolah di titik itulah halte tempat berbagai kenangan tentangnya berkumpul dan siap diangkut ke seluruh tubuhmu. Mulutmu lalu berkata-kata tentangnya, matamu dipenuhi olehnya, dan tak lama lagi kamu akan terlapisi saput yang tak bias kutembus. Hanya kamu sendirian di situ. Dan kamu tak pernah tahu itu.
Ceritamu kerap berganti selama lima tahun terakhir. Semenjak kamu resmi tergila-gila kepadanya. Kadang kamu bahagia, kadang kamu biasa-biasa, kadang kamu nelangsa. Namun, saput itu selalu ada. Kadang membuatku ingin gila.
“Aku menyadari sesuatu waktu aku sakit kemarin.” Kamu mulai bertutur setelah sembilan puluh detik menatap piano. “Satu malam aku sempat terlalu lemas untuk bangun, padahal aku cuma ingin ambil minum. Tidak ada siapa-siapa yang bias kumintai tolong … “
Jaketku harus kurapatkan. Sensasi meriang itu datang lagi.
“Malam itu rasanya aku sampai ke titik terendah. Aku capek. Dan kamu tahu? Aku butuh dia. Yang kubutuhkan adalah orang yang menyayangi aku … dan segelas air putih.”
Kepalamu menunduk, matamu terkatup, kamu sedang menahan tangis. Malam panjang kita resmi dimulai.
“Tapi … aku janji … tangisan ini buat yang kali terakhir…,” katamu tersendat, antara tawa dan isak. Berusaha tampil tegar.
Dan inilah saatnya aku menepuk halus punggung tanganmu. Dua-tiga kali tepuk. Dan tibalah saatnya kamu tersengguk-sengguk. Tak terhitung banyaknya. Lalu bedak dan lipstikmu meluntur tergosok tisu.
“Orang … yang begitu tahu aku sakit … mau pukul berapa pun … langsung datang …” Susah payah kamu berbicara.
Aku ingat malam itu. Hujan menggelontor sampai dahan-dahan pohon tua di jalanan rumahku rontok seperti daun kering. Teleponku bordering pukul setengah dua belas malam. Aki mobilku kering, jadi kupinjam motor adikku. Sayangnya adikku tak punya jas hujan. Dan aku terlalu terburu-buru untuk ingat bawa baju ganti. Ada seseorang yang membutuhkanku. Ia minta dibelikan obat flu karena stok di rumahnya habis. Ia lalu minta dibawakan segelas air, yang hangat. Aku menungguinya sampai ia ketiduran. Dan wajahnya saat memejamkan mata, saat semua kebutuhannya terpenuhi, begitu damai. Membuatku lupa bahwa berbaju basah pada tengah malam bias mengundang penyakit. Saat itu ada yang lebih penting bagiku daripada mengkhawatirkan virus influenza. Aku ingin membisikkan selamat tidur, jangan bermimpi. Mimpi mengurangi kualitas istirahatnya. Dan untuk bersamaku, ia tak perlu mimpi.
Napasmu mulai terdengar teratur. Air mata masih mengalir satu-satu, tapi bahu mu tak lagi naik-turun. Kamu menatapku lugu, “Keinginan itu … tidak ketinggian, kan?”
Lama baru aku bisa menggeleng. Tak ada yang muluk dari obat flu dan air putih. Tapi kamu mempertanyakannya seperti putri minta dibuatkan seribu candi dalam semalam.
“Jadi sekarang kamu mau bagaimana?” Demikianlah ciri khas malam curhat kita. Kamu tidak butuh instruksi. Aku hanya bertindak seumpama cermin yang memantulkan segala yang kamu inginkan. Kamu sudah tahu harus berbuat apa, sebagaimana kamu selalu tahu perasaanmu, kepedihanmu, dan langkahmu berikutnya. Kamu hanya butuh kalimat Tanya.
“Aku akan diam,” jawabmu dengan nada mantap yang membuat sengguk dan isak barusan seolah tak pernah terjadi.
“Diam?”
“Ya. Diam! Diam di tempat. Tidak ada lagi usaha macam-macam, mimpi muluk-muluk. Karena aku yakin di luar sana, pasti ada orang yang mau tulus saying sama aku, yang mau menemani aku pada saat susah, pada saat aku sakit … “
Kamu selalu tahu kebutuhanmu dari waktu ke waktu. Yang tidak kamu tahu adalah kamu sendirian dalam saput itu.
Gelas-gelas kita kembali diisi. Lagi, kamu mengajakku mengadu keduanya, dan kali ini dengan semringah kamu berkata, “Demi penantian yang baru! Yang tidak muluk-muluk! Cheers!”
Sesuatu dalam ruangan ini terlalu menyakitkan bagiku. Entah semburan angin dari mesin pendingin atau suara piano yang mengiris-iris kuping. Entah anggur ini terlalu tua bagi lidahku atau cinta ini terlalu tua bagi hatiku. Kurapatkan jaketku hingga tak bisa ditarik ke mana-mana lagi.
“Kamu sakit?” Kudengar kamu bertanya dengan nada cemas. Kulihat kedua alismu spontan bertemu, menunjukkan rasa heran yang sungguhan.
“Ya.”
“Gara-gara kehujanan waktu ke rumahku itu, ya?”
“Ya.”
Sebotol mahal anggur putih ada di depan matamu, tapi kamu tak pernah tahu. Kamu terus menanti. Segelas air putih.

0 comments:

Post a Comment