Badan ini tertunduk kaku dan mata hanya terpaku menatap satu titik saja. Ah, ternyata aku diserang [lagi] oleh virus adDEEction. Yup, lewat Rectoverso, Dee memberikan suatu mahakarya unik yang sama sekali jauh berbeda dibanding karya-karya sebelumnya. Rectoverso merupakan kombinasi yang indah yang terdiri dari sebelas cerita pendek dan sebelas lagu. Semuanya bisa dinikmati terpisah maupun bersama-sama. Rectoverso adalah karya Dee yang sederhana, namun matang, menampilkan sesuatu yang luar biasa dari permukaan biasa.
Salah satu cerita pendek dalam Rectoverso adalah Curhat Buat Sahabat. Bahwa kita boleh fokus ke satu titik tujuan, tapi kita jangan sampai mengabaikan hal-hal disekeliling kita. Karena kadang jika sudah terlalu fokus, tanpa disadari kita membuat sekat terhadap hidup kita yang orang lain tidak bisa menembusnya. Padahal ada diantara mereka yang sangat peduli dengan kita. Dan mereka adalah sahabat.
Dibawah ini adalah cerita lengkap tentang Curhat Buat Sahabat. Baca, Pahami, dan Resapi. Selamat membaca. :)
CURHAT BUAT SAHABAT
Gaun hitammu
menyambar kaki meja, lalu menyapu ujung kakiku. Kamu sengaja berdandan.
Membuatku agak malu karena muncul berbalut jaket jin, celana khaki, dan badan sedikit demam.
“Kamu tidak tahu
betapa pentingnya malam ini,” katamu, tertawa tersipu, seakan minta dimaklumi.
Pastinya kamu yang merasa tampil berlebihan, karena katamu tadi di telepon,
kita hanya akan makan malam sambil mendengarkanmu curhat.
Sebotol Muscat
yang terbalur dalam kepingan es diantarkan ke meja. Dudukku langsung tegak.
Jangan-jangan mala mini memang betulan penting.
Anggur itu
berusia enam tahun. Gaun itu Cuma keluar sekali dalam setahun. Restoran ini
terakhir kamu pilih saat ulang tahun hari jadi jatuh cintamu ke-1, empat tahun
yang lalu. “Ada yang perlu dirayakan? Selain kamu baru sembuh sakit dan aku
yang gentian tidak enak badan?” tanyaku, berusaha santai.
“Mala mini aku
lahir baru.”
“Kamu …
bertobat?”
“Bisa jadi itu
istilahnya!” tawamu mengelak-gelak lepas, lalu kamu mengatur nafas, “Aku …
selesai.”
Mataku menyipit.
Menunggu penjelasan.
“Selesai! Semua
sudah selesai. Lima tahun sudah cukup. Aku berhenti menunggu. Berhenti
berharap. Cheers!” Kamu dentingkan
gelasmu ke gelasku.
Bulu kudukku meremang
tersapu hawa demam yang tiba-tiba melonjak sesaat dari dalam tubuh. Atau
pendingin ruangan yang terlalu sejuk. Piano mengalun terlalu indah di kuping.
Kamu terlalu cantik saat menyerukan ikrar kebebasanmu. Aku merinding lagi dan
selapis keringat dingin menyembul di tepi kening.
“Kenapa?”
tanyaku, dan kamu pasti sudah siap untuk itu. Untuk sepotong kata tanya itulah
kamu berdandan, mengenakan baju terbaikmu, dan memilih tempat ini.
Tolong jangan
tersinggung jika kubilang jika aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pertama, akan ada jeda kosong sekurang-kurangnya tiga menit, dimana aku akan
melipat tangan di dada sambil memandangimu sabar, dan kamu akan memandang
kosong ke satu titik, seolah di titik itulah halte tempat berbagai kenangan
tentangnya berkumpul dan siap diangkut ke seluruh tubuhmu. Mulutmu lalu
berkata-kata tentangnya, matamu dipenuhi olehnya, dan tak lama lagi kamu akan
terlapisi saput yang tak bias kutembus. Hanya kamu sendirian di situ. Dan kamu
tak pernah tahu itu.
Ceritamu kerap
berganti selama lima tahun terakhir. Semenjak kamu resmi tergila-gila
kepadanya. Kadang kamu bahagia, kadang kamu biasa-biasa, kadang kamu nelangsa.
Namun, saput itu selalu ada. Kadang membuatku ingin gila.
“Aku menyadari
sesuatu waktu aku sakit kemarin.” Kamu mulai bertutur setelah sembilan puluh
detik menatap piano. “Satu malam aku sempat terlalu lemas untuk bangun, padahal
aku cuma ingin ambil minum. Tidak ada siapa-siapa yang bias kumintai tolong … “
Jaketku harus
kurapatkan. Sensasi meriang itu datang lagi.
“Malam itu
rasanya aku sampai ke titik terendah. Aku capek. Dan kamu tahu? Aku butuh dia.
Yang kubutuhkan adalah orang yang menyayangi aku … dan segelas air putih.”
Kepalamu
menunduk, matamu terkatup, kamu sedang menahan tangis. Malam panjang kita resmi
dimulai.
“Tapi … aku janji
… tangisan ini buat yang kali terakhir…,” katamu tersendat, antara tawa dan
isak. Berusaha tampil tegar.
Dan inilah
saatnya aku menepuk halus punggung tanganmu. Dua-tiga kali tepuk. Dan tibalah
saatnya kamu tersengguk-sengguk. Tak terhitung banyaknya. Lalu bedak dan
lipstikmu meluntur tergosok tisu.
“Orang … yang
begitu tahu aku sakit … mau pukul berapa pun … langsung datang …” Susah payah
kamu berbicara.
Aku ingat malam
itu. Hujan menggelontor sampai dahan-dahan pohon tua di jalanan rumahku rontok
seperti daun kering. Teleponku bordering pukul setengah dua belas malam. Aki
mobilku kering, jadi kupinjam motor adikku. Sayangnya adikku tak punya jas
hujan. Dan aku terlalu terburu-buru untuk ingat bawa baju ganti. Ada seseorang
yang membutuhkanku. Ia minta dibelikan obat flu karena stok di rumahnya habis.
Ia lalu minta dibawakan segelas air, yang hangat. Aku menungguinya sampai ia
ketiduran. Dan wajahnya saat memejamkan mata, saat semua kebutuhannya
terpenuhi, begitu damai. Membuatku lupa bahwa berbaju basah pada tengah malam
bias mengundang penyakit. Saat itu ada yang lebih penting bagiku daripada
mengkhawatirkan virus influenza. Aku ingin membisikkan selamat tidur, jangan
bermimpi. Mimpi mengurangi kualitas istirahatnya. Dan untuk bersamaku, ia tak
perlu mimpi.
Napasmu mulai
terdengar teratur. Air mata masih mengalir satu-satu, tapi bahu mu tak lagi
naik-turun. Kamu menatapku lugu, “Keinginan itu … tidak ketinggian, kan?”
Lama baru aku
bisa menggeleng. Tak ada yang muluk dari obat flu dan air putih. Tapi kamu
mempertanyakannya seperti putri minta dibuatkan seribu candi dalam semalam.
“Jadi sekarang
kamu mau bagaimana?” Demikianlah ciri khas malam curhat kita. Kamu tidak butuh
instruksi. Aku hanya bertindak seumpama cermin yang memantulkan segala yang
kamu inginkan. Kamu sudah tahu harus berbuat apa, sebagaimana kamu selalu tahu
perasaanmu, kepedihanmu, dan langkahmu berikutnya. Kamu hanya butuh kalimat
Tanya.
“Aku akan diam,”
jawabmu dengan nada mantap yang membuat sengguk dan isak barusan seolah tak
pernah terjadi.
“Diam?”
“Ya. Diam! Diam
di tempat. Tidak ada lagi usaha macam-macam, mimpi muluk-muluk. Karena aku
yakin di luar sana, pasti ada orang yang mau tulus saying sama aku, yang mau
menemani aku pada saat susah, pada saat aku sakit … “
Kamu selalu tahu
kebutuhanmu dari waktu ke waktu. Yang tidak kamu tahu adalah kamu sendirian
dalam saput itu.
Gelas-gelas kita
kembali diisi. Lagi, kamu mengajakku mengadu keduanya, dan kali ini dengan
semringah kamu berkata, “Demi penantian yang baru! Yang tidak muluk-muluk! Cheers!”
Sesuatu dalam
ruangan ini terlalu menyakitkan bagiku. Entah semburan angin dari mesin
pendingin atau suara piano yang mengiris-iris kuping. Entah anggur ini terlalu
tua bagi lidahku atau cinta ini terlalu tua bagi hatiku. Kurapatkan jaketku
hingga tak bisa ditarik ke mana-mana lagi.
“Kamu sakit?”
Kudengar kamu bertanya dengan nada cemas. Kulihat kedua alismu spontan bertemu,
menunjukkan rasa heran yang sungguhan.
“Ya.”
“Gara-gara
kehujanan waktu ke rumahku itu, ya?”
“Ya.”
Sebotol mahal
anggur putih ada di depan matamu, tapi kamu tak pernah tahu. Kamu terus
menanti. Segelas air putih.
0 comments:
Post a Comment