10:19
0
Pendidikan merupakan input sekaligus output keberhasilan pembangunan sebuah Negara. Teori ekonomi Solow yang sebelumnya, menganggap modal sebatas modal fisik, kini menyadari bahwa modal juga berupa non fisik yaitu human capital. Melihat keberhasilan Jepang saat ini, tidak dapat dipungkiri hal itu hasil “revolusi kecerdasan” yang dipimpin oleh Kaisar Meiji. Revolusi ini dikenal dengan nama Restorasi Meiji, dimana para samurai mengganti pedang mereka dengan buku.

Sebagaimana diamanatkan didalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Meskipun saat ini, Indonesia masih tergolong negera berkembang. Kecerdasan manusia Indonesia di tidak bisa dianggap remeh. Habibie pernah menjadi buah bibir seantero dunia lewat kecerdasannya menemukan teori keretakan pesawat. Bahkan, berbagai olimpiade internasional menjaga lahan subur prestasi manusia Indonesia. Yohanes Surya, pendiri Yohanes Institute, memprediksi bahwa paling lambat pada tahun 2020 akan ada pemenang Nobel dari Indonesia.

Indonesia memang memiliki segudang manusia cerdas. Namun, “Mengapa bangsa ini masih saja terpuruk didalam kemiskinan?”. Jawabannya, karena mereka hanya cerdas tetapi tidak ber-hati. Kita lihat akhir-akhir ini, banyak orang-orang pintar di Indonesia tersangkut kasus korupsi. Isu yang paling hangat adalah seorang profesor di salah satu perguruan tinggi negeri tak berdaya ketika di tangkap KPK.

Hal tersebut hanya satu contoh bahwa pendidikan di Indonesia telah melahirkan produk gagal berupa manusia-manusia tidak bermoral. Faktanya, pendidikan di Indonesia hanya mengajarkan kemampuan kognitif saja. Dan kebanyakan guru hanya sebagai sebatas mentransfer ilmu (baca:mengajar) dan tidak mendidik.

Seperti yang kita ketahui bahwa kecerdasan terdiri dari 3 macam, yaitu IQ, EQ, dan SQ. Intellectual Quotient (IQ) merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk menganalisa sesuatu dan berfikir secara nasional. Sedangkan, Emotional Quotient (EQ) adalah kecerdasan yang merupakan identitas seseorang meliputi pengendalian diri, semangat, dan emosi.

Dahulu orang percaya jika kesuksesan ditentukan oleh IQ saja, namun penelitian terbaru memperlihatkan bahwa kesuksesan dipengaruhi oleh 20% IQ dan 80% EQ. Kesuksesan yang diraih oleh seseorang yang memiliki IQ dan EQ tidak akan sempurna jika tidak memiliki SQ. Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang berasal dari hati dan membantu mencari solusi dari masalah yang kita hadapi.

Patut disyukuri didalam kurikulum 2013, pembuat kebijakan sudah memasukkan ketiga aspek kecerdasan tersebut di dalam pembelajaran. Tetapi, kesuksesan penerapan kurikulum ini sangat bergantung kepada guru. Karena guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan. Sebagaimana yang yang telah disebutkan diatas, seorang guru harus kembali kepada fitrahnya sebagai seseorang yang digugu dan ditiru. Seharusnya guru mengajar dan mendidik dengan penuh dedikasi, bukan karena tuntutan profesi. Akibatnya, siswa enggan masuk sekolah, tidak bersemangat ketika diberi tugas, lebih suka jajan ketimbang membeli buku, dan lain sebagainya.

Kita membutuhkan sosok guru yang memperlakukan murid sebagai manusia seutuhnya, karena seperti yang disebutkan Munif Chatib dalam bukunya “Sekolahnya Manusia” bahwa kebanyakan sekolah di Indonesia berpredikat sebagai sekolah robot. Kita merindukan sosok Bu Muslimah dalam film “Laskar Pelangi” yang mengajar dengan sepenuh hati karena cinta dan sayang kepada muridnya. Sehingga generasi penerus ini akan memiliki identitas moral yang kuat. Tentunya harapan ini masih ada, bukan?. Kita yakin, Indonesia akan mampu menjadi Negara maju, hal itu tidak akan tercapai tanpa usaha kita bersama di bidang pendidikan.

*Edited

0 comments:

Post a Comment