20:06
0

Kali ini aku mau cerita sedikit tentang sebuah kisah persahabatan yang salah satu tokoh utamanya adalah aku sendiri. Hehehe. Ceritanya begini, aku punya seorang sahabat, perlu kalian catat bahwa dia bukan teman. kawan, kolega, partner, atau apalah itu, tapi dia adalah sahabat. (Emang ada yang mau sahabatan sama lo? Ada donk, nih dia buktinya). Yah, ada kemungkinan ini merupakan klaim sepihak saja. Tapi setidaknya aku punya alasan yang kuat atas pengakuan ini.

Sedikit flashback ke belakang. Sebelumnya aku tidak ada niat untuk membedakan antara teman, kawan, dan sahabat. Bagiku ketiga kata tersebut adalah "saudara se-ayah beda ibu". Tapi semenjak aku berteman dengan dia, sepertinya aku harus mendefinisikan ulang. Sederhananya begini, kehadirannya membantu aku menemukan arti persahabatan.
Bahwa sahabat itu tidak menyalahkan yang benar dan tidak membenarkan yang salah. Ini memang konsep yang sangat umum. Tapi apakah kita sadar, kadang kawan kita yang menghanyutkan kita. Atau bahkan kita sendiri yang menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang negatif. Contohnya ketika salah satu kawan kita berselisih dengan orang lain, otomatis kita akan mendukung dia tanpa menilai secara objektif permasalahan yang mereka alami.

Tahukah kamu seperti apa persahabatan kami? Percayakah kamu kalau sahabatku itu merupakan sahabat di dunia maya? Mungkin kamu akan mentertawakan klaim ku di awal tadi. Bagaimana bisa aku menganggap dia sebagai sahabat sementara komunikasi kami hanya lewat dunia maya.

Tunggu sebentar, sepertinya aku harus memberikan sedikit klarifikasi. Memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa persahabatan kami adalah semu, ibarat fatarmorgana. Namun, justru itu merupakan kunci segalanya. Pasti kamu tidak yakin kalau aku punya sahabat beneran di dunia maya. Apakah kamu bisa menjamin kalau teman di dunia nyata itu bisa mengenal kamu dengan baik?

Kamu mungkin belum tahu kalau teman di dunia maya itu lebih real dibandingkan di dunia nyata. Rasionalisasinya seperti ini bahwa ada sebagian orang yang terlalu menjaga imej (baca: jaim) ketika berhadapan dengan orang. Ekstrimnya sebut saja munaf*k. Sebaliknya, ketika kita berhubungan dengan orang lewat dunia maya justru kita bisa lebih terbuka tanpa merasa terbebani dengan perasaan malu. Toh kita tidak bertemu langsung dengan mereka. Kita bisa dengan santainya berbagi cerita meskipun terkait hal-hal pribadi dan kita juga bisa menanggapi cerita orang lain atau memberikan pendapat tanpa malu atau segan.

Memang, tidak menutup kemungkinan kalau dunia maya juga penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Sebelumnya jawab dulu pertanyaan ini, keuntungan apa yang kita dapat jika kita berbohong? Justru kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita berkomitmen untuk menjalin suatu hubungan di dunia maya, maka saranku adalah jangan bumbui hubungan itu dengan kebohongan. Ingat hukum sebab-akibat, kita akan mendapatkan seperti apa yang telah kita berikan.

Sangat teoritis memang. Tapi patut di coba. Awalnya aku juga heran kok bisa. Mungkin saja kami punya chemistry (katanya karena sama2 lahir di bulan mei, ckckck). Satu hal yang perlu di catat, apa yang telah ku ungkapkan secara panjang dan lebar tadi tidak berlaku dalam hal pacaran, ta’aruf, atau mencari pasangan hidup. Karena terlalu beresiko terhadap masa depan kita.

Akhirnya, ini bukanlah sebuah akhir. Karena masih banyak yang ingin ku ceritakan tentang aku, dia, dan kami. Kamu? Yang mau gabung silahkan. :-p hehee.

0 comments:

Post a Comment